Tentang Marah
Beberapa kali aku mendapat pertanyaan ajaib "Lu pernah marah ga Kev?"
Yah mungkin pertanyaan itu tersampaikan karena aku bukan orang yang mudah menyampaikan perasaanku. Mungkin aku jarang terlihat menunjukkan emosi berlebih. Makanya, sudah tak terhitung berapa kali kujawab dengan bercanda, baik langsung maupun dalam rekam ulang interaksi tersebut di kepalaku, pernahlah, dan marahnya gue ya kayak orang biasa, bentak-bentak, mukul, menyanyikan lagu kebangsaan... Lalu disambut tawa semua orang karena keberadaan frasa terakhir yang merupakan implementasi dari rule of third yang merupakan salah satu prinsip komedi. Lucu terus…
Tapi sungguh, aku pernah marah. Aku pernah mengasingkan orang beracun yang terus-menerus merenggut apa yang menjadi milikku tanpa pernah mau berkompromi sedikitpun. Aku berteriak mengamuk dan memahat tembok bata rumahku dengan kepalan tangan ketika aku terpicu impulsif oleh karena berita-berita terkini. Aku meraung dalam sunyi ketika hariku kacau, aku letih, dan orang-orang rumahku malah membuang tanggung jawabnya kepadaku. Dan tak terhitung betapa seringnya aku misuh mengata-ngatai hidup dan orang-orang—yang entah sengaja maupun tidak—mengambil peran di dalamnya, dalam ruang aman lingkaran sahabat-sahabatku.
Jadi ya, aku pernah marah. Tapi satu hal yang utama, aku benci jika marahku tak jadi apa-apa. Aku benci jika marahku menguap begitu saja setelah kepalanku bonyok dan suaraku habis. Sungguh, aku lebih marah dengan habisnya marahku itu dibandingkan dengan kemarahanku yang mula-mula. Dan karena itu, kuputuskan untuk menyimpan dan memelihara kemarahanku, menjadikannya sumber energi terbarukan dalam menjalani hidup. Kujadikan marah itu tarikan oksigen pertama ketika aku bangun pagi, kuhirup dan kutelan marah itu dalam setiap suap sarapan, santap siang, dan santap malamku, dan kukendarai dia untuk membelah Ibukota setiap harinya. Kujadikan marahku sebagai cemeti. Kurawat marahku kepada keluarga besar sampai aku terbukti melampaui mereka. Kuperbudak marahku sampai bisa membawaku ke karir yang kuinginkan, sampai aku membuktikan kepada diriku bahwa aku bisa, aku bisa, aku bisa. Kupekerjakan marahku sampai titik nadirnya, sampai aku tak lagi memerlukannya…
Jadi, emang kenapa kalo gue nyanyi Indonesia Raya pas marah? :p